Musik Pop Indonesia

By Gregory Terry 4 years ago

Musik Pop Indonesia – Berawal pada Perang Dunia I tahun 1918. Dimana pada waktu itu masyarakat di negara Amerika Serikat merasa menggemari musik ini dua tahun kemudian.

Berasal dari penemuan kreatif Thomas Edison, setelah itu makna pop pun dicetuskan pertama kali oleh seorang pengamat seni rupa yang berkebangsaan Inggris, Lawrence Alloway. sbobet

Dengan kata lain, musik pop itu berasal dari kata kondang dan komersil, maka tidak heran apabila  musik ini banyak mempunyai peminat hingga kini. www.mrchensjackson.com

Lewat gerakannya, pop itu ditujukan sebagai bumbu penyedap untuk mendobrak pandangan-pandangan lama untuk searah berkembangnya zaman. Dengan kemunculan musik pop ini malah semakin digemari di segala dunia bersama dengan perpaduan bermacam-macam ritme yang tersedia seperti Rhumba, Samba, Congsa, Mambo, dan contoh lainnya merasa tahun 1940. Dengan bermodalkan musik yang easy listening, musik pop mampu di tunjang oleh pengaplikasian teknologi dan tak terbatas cuma pada satu aliran tertentu. Misalkan, bunyi dari cara kerja mixing atau gitar listrik mampu bervariasi.

Musik Pop Indonesia

Musik pop banyak dimengerti secara komersial oleh rekaman musik, karena berorientasi menuju pasara muda, karena lirik nyanyian yang relatif simpel, namun mempunyai pesan yang mendalam. Musik pop termasuk mengacu pada salah satu genre musik yang mempunyai daya tarik secara luas, dan biasanya disalurkan ke khalayak melewati industri musik. Berbeda bersama dengan seni musik tradisional, yang biasanya penyebarannya secara akademis, lingkup lebih kecil, dan pirsawan lokal.

Perjalanan musik pop di Indonesia punya riwayat sejarah panjang. Di era kiwari, musik pop Indonesia demikian modern dan dinamis. Menandakan antusiasme kalangan muda yang berpikiran terbuka.

Kelompok GAC (Gamaliel Audrey Cantika) merupakan contoh pertama yang dapat dibahas. Trio yang mulai eksis sejak 2009 ini membawakan musik R&B segar yang termaktub dalam dua album terakhir mereka, STRONGER (2015) dan RESONANCE (2018). Aransemen musik yang matang, pembagian vokal yang jelas, serta lirik yang proporsional—tak kelewat klise—jadi senjata mereka dan bisa disimak di nomor-nomor macam “I Want You”, “Love Saves”, dan “Satu”.

Nama selanjutnya ialah Rendy Pandugo. Lewat The Journey, album yang ia bikin pada 2017, Rendy layaknya inginkan membuktikan pada publik bahwa penyanyi bergitar masih punya taji. Sepintas, Rendy mengingatkan saya pada sosok Adhitya Sofyan. Bedanya, musik Rendy lebih punya sensibilitas pada pasar tanpa wajib mengorbankan visi kreatifnya. Lagu “7 Days”, misalnya, merupakan deskripsi paling baik berasal dari kapabilitas itu.

Musik Pop Indonesia

Yura Yunita juga muncul mencuri perhatian khalayak. Karakter vokal Yura serupa dengan Vina Panduwinata, khususnya di album Merakit (2018), yang secara musikalitas menonjolkan jazz, pop, dan alunan string yang lincah.  Dua lagu berjudul “Takkan Apa” dan “Apakah Kamu” layak didaulat sebagai contoh terbaik dari album ini.

Apabila Yura masih merasa malu-malu menyelipkan nafas jazz dalam karyanya, tidak demikian dengan Ardhito Pramono. Penyanyi muda ini datang dengan mini album yang kental sekali nuansa broadway jazz-nya: a letter to my 17 year old (2019). Nomor-nomor seperti “say hello”, “bitterlove”, hingga “superstar” dinyanyikan secara sendu.

Sementara Teddy Adhitya semakin menambah panjang daftar penyanyi yang memainkan ragam R&B. Album Nothing Is Real yang dibuatnya pada 2017 menjadi debut yang meyakinkan, dengan track jagoan seperti “Suddenly, It’s Alright”, “Won’t Hurt You Tonight”, maupun “In Your Wonderland”.

Membicarakan perkembangan musik pop masa kiwari tak lengkap bila absen menyebut Dipha Barus. Komposer dan DJ ini memiliki andil lumayan berarti di dalam mengenalkan wajah“pop baru” Indonesia, bersama dengan kolaborasi yang ia garap bersama dengan bersama dengan banyak penyanyi.

Di nomor “You Move Me” contohnya, Dipha berduet dengan Monica Karina. Lalu, bersama Raisa, Dipha membikin “Mine (Day), “Mine (Night)”, dan “My Kind of Crazy”. Sementara “Made in Jakarta” merupakan proyek bersamanya dengan Adrian Khalif. Yang paling populer tentu “All Good”, yang dibawakan bersama Nadin Amizah dan sudah diputar lebih dari 15 juta kali di Spotify.

Sentuhan Dipha beri tambahan aroma pop yang menyenangkan sekaligus memancing geliat goyang di lantai dansa. Musiknya sukses menangkap pertumbuhan zaman di mana pop tak sekadar berdiri sebagai entitas tunggal, melainkan melebur dengan warna lain macam dance, hip hop, dan R&B.

Di luar nama-nama di atas, masih ada Tulus, Rizky Febian, Kunto Aji, Sheryl Sheinafia, Isyana Sarasvati, Afgan, Petra Sihombing, hingga Stephanie Poetri yang lagunya, “I Love You 3000”, sempat jadi trending dan sampai sekarang telah diputar lebih dari 25 juta kali.

Internet Mengubah Segalanya

Gebrakan musik pop di Indonesia dapat dibilang amat terbantu oleh internet. Pertama, ia memudahkan musisi pop untuk melebarkan preferensi musiknya. Lewat internet, para penyanyi ini memiliki segudang sumber ide berasal dari banyak musisi yang tersebar di semua dunia. Walhasil, terciptalah transfer ide dalam skala yang lumayan masif.

Contohnya sederhana. Musik pop yang dibalut R&B dalam album RESONANCE garapan GAC atau Nothing Is Real milik Teddy Adhitya banyak terpengaruh sound yang biasa muncul di scene pop AS—yang dinyanyikan oleh Usher, Alicia Keys, Chris Brown, Beyonce, maupun John Legend.

Perubahan tak sekadar terlihat di dalam faktor musikalitas, melainkan termasuk terhadap penulisan lirik. Sekarang, penyanyi-penyanyi pop Indonesia cenderung lebih berani di dalam mengekspresikan isi pikirannya lewat bahasa Inggris. Terlepas berasal dari apa motif yang sebenarnya, pemilihan lirik bersama dengan bahasa Inggris setidaknya tunjukkan permohonan para penyanyi ini untuk memperluas jangkauan karyanya hingga tataran global.

Yang menarik, samasekali sebagian tersedia yang terikat terhadap keperluan label besar, para penyanyi ini mengfungsikan pendekatan ala musisi independen di dalam menjajakan karyanya. Memanfaatkan secara maksimal layanan streaming seperti Spotify dan membikin gimmick maupun video klip sekreatif kemungkinan sebelum saat nantinya diunggah ke sarana sosial macam Instagram hingga YouTube.

Apa yang ditempuh para musisi pop selanjutnya jadi respon atas tetap tak jelasnya penjualan fisik di jaman sekarang—dan mendatang. Dalam “How Are Young Music Artists Configuring Their Media and Sales Platforms in the Digital Age?” yang terbit di Journal Marketing of Management (2015), Mark Leenders, Mark Ferrell, dan Koos Zwaan menyatakan bahwa di jaman yang serba digital ini, media sosial merupakan senjata utama para musisi—khususnya dari kelompok umur muda—dalam mempromosikan karya mereka sekaligus area untuk merengkuh segmen pasar yang lebih lebar. 

Internet membuat musisi mendapatkan kebebasan yang besar. Baik kebebasan pilih visi kreatifnya maupun kebebasan untuk menjajakan karyanya ke publik. Internet memudahkan para musisi pop untuk meramu karyanya dan di pas sejalan mendorong mereka untuk lebih kompetitif di sedang belantara industri yang terkadang liar dan tak punyai pijakan masa depan yang pasti. Dan, setidaknya, sejauh ini, musisi pop Indonesia telah berhasil melakukannya.